The End of Influencer Era: Ketika Influencer Kehilangan Daya Magisnya
Influencer marketing belum mati, tapi era keemasannya sudah lewat. Kini, brand tidak bisa lagi asal pilih hanya karena angka follower atau tren
semata. Harus ada pertimbangan yang lebih strategis, lebih behavioral.
Beberapa tahun lalu, ketika media sosial mulai booming, dunia pemasaran menyaksikan lahirnya sebuah profesi baru yang langsung melejit: influencer. Sosok yang dulunya hanya pengguna media sosial biasa, tiba-tiba menjelma menjadi figur publik yang punya pengaruh besar terhadap keputusan konsumen. Dan anak-anak muda mulai punya opsi cita-cita baru, “saya ingin jadi YouTuber atau influencer”, begitu pikir banyak anak-anak muda.
Dan dalam waktu sekejap penjualan kamera, microphone dan peralatan video pun melonjak drastis. Para pedagang kamera dan peralatan video pun seolah-olah ketiban rezeki nomplok dari membanjirnya ketertarikan jadi influencer. Dan di bisnis, banyak brand juga berlomba-lomba mengalokasikan anggaran besar untuk bekerja sama dengan mereka. Namun kini, pertanyaannya mulai berubah: apakah influencer masih efektif seperti dulu?
Apakah endorsement masih bisa menggerakkan penjualan? Dan jika tidak lagi seampuh dulu, apa penyebabnya? Untuk menjawab ini, kita perlu melihat melalui lensa behavioral science—ilmu yang menjelaska
MarketeersMAX
Anda harus berlangganan lebih dulu untuk mengakses semua konten premium ini. Apabila Anda sudah berlangganan, silakan klik tombol Login.

Ignatius Untung
Praktisi Marketing & Behavioral Science